Menggugat Lembaga Survei

lembaga survei
LEMBAGA survei layak digugat, setidaknya oleh kalangan media sendiri yang "doyan" publikasi hasil survei.

"Partai Politik Berbasis Massa Islam Menjungkirbalikkan Survei," tulis kompas.com. "Parpol Islam Patahkan Ramalan Survei," tulis inilah.com.

Masih ada beberapa judul sejenis yang intinya "menggugat lembaga survei". Bahkan, "Efek Jokowi Rekaan Lembaga Survei Belaka," tulis Kompas.com.

Judul-judul berita yang bernada "menyudutkan" lembaga survei itu muncul, setelah fakta/data hasil hitung cepat (quick count) menunjukkan bahwa hasil-hasil survei sebelum Pemilu Legislatif 9 April 2014 digelar keliru. Nyaris semua lembaga survei menyatakan: partai Islam akan tenggelam, takkan laku, alias terpuruk.

Nyatanya tidak demikian. Hasil hitung cepat menunjukkan partai politik Islam tetap berkibar dalam Pemilu 2014, kecuali PBB yang tetap "terpuruk".

LSI Sang Pelopor

Sejak era reformasi, lembaga-lembaga survei menjamur. Dipelopori kemunculan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan “trio” Saiful Mudjani, Denny JA, dan M. Qodari, lembaga sejenis pun bermunculan, juga diawali dengan perpecahan ketiga “trio” tersebut. 

Saiful Mudjani tetap memimpin LSI. Denny JA “out” dan mendirikan Lingkaran Survei Indonesia (disingkat LSI juga). M. Qodari pun “gerah” di LSI, keluar, dan mendirikan “kerajaan baru” bernama Indo Barometer.

Selain ketiga lembaga tersebut, lembaga survei lainnya antara lain Lembaga Survei Nasional (LSN), Lembaga Survei dan Kajian Nusantara (Laksnu), Indonesian Research Development Institute (IRDI), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survey Sosial Indonesia, Lembaga Survey dan Manajemen Publik Indonesia, Jaringan Survey Manajemen Publik Indonesia, dan Sentra Informasi Kebijakan Publik Indonesia.

Ada pula Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Sugeng Suryadi Syndicate (SSS), Centre for Electoral Reform (Cetro), Centre for the Study of Development and Democracy (CESDA), Pusat Kajian Ilmu Politik UI (Puskapol UI), serta beberapa lembaga sejenis di daerah-daerah.

Fungsi Survei

Secara normatif, fungsi survei adalah “menjembatani” kepentingan publik (rakyat) dengan penentu kebijakan publik (pemerintah dan elite politik).

Fungsi awal survei, jajak pendapat, polling, atau apa pun namanya adalah memantau opini publik; “mengintip” persepsi, harapan dan evaluasi publik terhadap sebuah kebijakan politik, juga mengukur apa yang dipikirkan masyarakat.

Survei juga “mengintip” pendapat (opini) serta harapan masyarakat terhadap pejabat/politisi ataupun institusi yang ada, mendekatkan keputusan-keputusan publik dengan aspirasi publik. Hasil survei dipandang sebagai “baromete” aspirasi masyarakat yang menjadi acuan dalam pembuatan keputusan.

Hasil survei setidaknya berguna sebagai “bahan tulisan” bagi para peneliti untuk menulis artikel di media. Tulisan mereka menjadi “layak muat” karena dukungan data “ilmiah” hasil survei itu. Mereka “hanya” menjabarkan hasil survei lembaganya. Hasil survei itu pula yang membuat mereka menjadi narasumber dalam berbagai acara talkshow di televisi yang menjadikan mereka sebagai pengamat politik.

Kekuatan Kelima

Secara garis besar ada dua jenis survei. Pertama, Survei Publik. Jenis ini sifatnya nonkomersial dan dilakukan atas permintaan lembaga-lembaga publik untuk dipublikasikan.

Kedua, Survei Komersial yang dilakukan atas permintaan individu, kelompok, atau lembaga swasta lainnya. Hasil survei ini sepenuhnya untuk klien dan tidak dipublikasikan kecuali klien bersangkutan menghendakinya.

Karena “menerima pesanan”, lembaga survei umumnya juga menerima “pertanyaan titipan” yang disesuaikan dengan kebutuhan klien.

Kredibilitas lembaga-lembaga survei belakangan dipertanyakan akibat munculnya dugaan “pesanan” itu. Apalagi dalam beberapa kasus, hasil survei tidak cocok dengan fakta, seperti terjadi dalam hasil Pemilu Legislatif 2014.

Bak pedagang asongan dan kaki lima, di mana ada keramaian, mereka berbondong-bondong ke tempat itu. Demikian pula para “ilmuwan” atau periset. Karena “basah”, hasil survei bisa diperdagangkan, bahkan “bisa pesan”, lembaga survei pun bermunculan dan menjadi lembaga komersial dan bahkan berperan ganda: peneliti sekaligus konsultan atau tim sukses.

Lembaga survei kini dinilai sebagai “kekuatan kelima” (fifth estate) di belakang “kekuatan keempat” (fourth estate) –yakni media massa, di samping tiga kekuatan dalam “trias politica”–Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.

Disebut “kekuatan kelima” karena lembaga survei kini dinilai sebagai “algojo” penentu opini publik. Dengan kata lain, alih-alih mengintip opini publik, lembaga survei justru menjadi pembentuk opini publik itu sendiri.

Dengan kata lain, publikasi hasil survei dinilai sebagai bagian dari upaya menggiring opini dan memengaruhi pilihan rakyat. Perilaku pemilih berupa “ikut yang rame” atau “ngikut yang bakal menang” dimanfaatkan sebaik mungkin oleh lembaga survei dan para sponsornya. Hasil survei dapat menjadi bahan kampanye: “Survei membuktikan, kamilah yang unggul, maka pilihlah kami…”.

‘Pelacuran Intelektual’?

Tudingan tidak sedap, bahkan “kasar”, pun muncul kepada kalangan peneliti yang umumnya para intelektual atau akademisi bergelar master atau doktor itu.

Seringnya publikasi hasil “survei pesanan” memunculkan “cap”: para intelektual itu sudah “melacurkan diri” alias menjadi “pelacuran intelektual” –sebuah tudingan yang tentu saja dibantah para peneliti atau lembaga survei.

Berkedok “metode ilmiah”, para peneliti bisa saja mengarahkan hasil surveinya dengan memilih responden yang sudah ditunjuk atau dipersiapkan.

Jika menginginkan hasil survei menunjukkan partai A unggul, maka pilihlah responden yang “diduga” sebagai kader atau simpatisan partai A itu. Data pun valid, dapat dipertanggungjawabkan, dan “silakan cek data dan lembaran hasil survei kami”.

Masihkah lembaga dan hasil survei bisa dipercaya? (www.romelteamedia.com).*