Para pendukung capres seakan-akan berlomba-lomba nge-share informasi tentang keburukan capres lainnya, bahkan dengan sumpah-serapah, kata-kata kasar, kadang dibumbui komentar ala "pengamat".
Kadang muncul pertanyaan bernada "buruk sangka", "Bakal dapat apaan sih tu orang kalo jagoannya menang?"
"Oh.... mungkin dia tim sukses yang memang ada anggarannya kali?" "Nafsu amat sih tu orang, nyaris tiap hari nge-share info tentang keburukan capres lain!"
Mengerikan! Akan lebih kasar lagikah komentar mereka jika "jagoannya" nanti kalah? Terbayang, bagaimana "membaranya" media sosial --Facebook dan Twitter-- usai Pilpres nanti. Bara apinya saja sudah kian membesar saat ini.
Dijanjikan Apa Sih?
Saya jadi teringat semasa kuliah dulu. Saya "dicekoki" berbagai teori politik, salah satunya dari Harold Dwight Lasswell --ilmuwan politik dan teoris komunikasi dari Amrik. Dia bilang, "Politics is who gets what, when, and how."Kata Lasweel, politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Nah, kira-kira, mereka yang tiba-tiba begitu bersemangat banget pisan sekali kampanye buat capres jagoannya, getol amiirrrr nge-share info keburukan capres lain.... DAPAT APA? KAPAN? BAGAIMANA?
Jika jagoannya menang, dia dapat apa? Jabatan menterikah? Masuk akal, jika yang bersemangat kampanye itu "orang Jakarta" sana yang ada di "lingkaran inti" capres, misalnya dari kalangan parpol pengusung.
Nah, di media sosial itu, juga di komentar-komentar berita media online, mereka kayaknya "orang biasa" aja deh.... sama seperti saya..... yang naga-naganya "will get NOTHING" jika jagoannya menang atau kalah, kecuali "sekadar" rasa senang dan kecewa.
Hebatnya lagi, ada penggalangan dana, ada relawan, dan entah apa lagi. Semoga saja mereka juga tidak melupakan penggalangan dana sedekah dan relawan buat kaum dhuafa yang lebih membutuhkan. Amin......!
Semangat membela capres tertentu itu sedikit saya pahami, ketika saya cukup sedih melihat Inggris kalah dari Italia dan senang melihat Jerman mengalahkan Portugal. Dipikir-pikir.... buat apa saya sedih? Buat apa saya senang?
Toh, kalo Inggris menang, saya cuma merasa senang dengan alasan yang saya juga tidak tahu, kenapa saya dukung Inggris dan Jerman?
Tapi kalo soal capres ini lain sama bola! Ini soal pemimpin negara. Soal "Ulil Amri". So...? (Speechless... I have no words!)
Kekuatan Media
Panasnya suasana Pilpres kali ini, selain kandidatnya cuma dua, adalah "kompor" yang manas-manasin.Sang kompor tidak lain adalah media massa atau wartawan yang sudah tidak lagi "netral". Dalam perspektif jurnalistik, ini barangkali yang disebut "sisi gelap jurnalisme" (dark side of journalism), yakni ketika jurnalistik "dimanfaatkan" atau digunakan sebagai alat propaganda.
Dari angle pemberitaannya, kita bisa tahu, minimal menebak, siapa capres yang "dibela" sebuah media. Jangan bicarakan soal Metro TV dan TV One yang sudah jelas keperpihakannya karena keterang-benderangan kubu politik sang pemilik keduanya.
Saat ini media sedang "adu kuat" dalam mendukung salah satu capres. Saya jadi ingat ucapan seorang pengamat media yang mengatakan: "Media sektarian [berpihak pada kelompok tertentu] itu akan merugi bagi dari sisi komersial maupun ideal".
Media memang tidak bisa netral. Tidak ada kamus "netral" dalam literatur jurnalistik. Yang ada adalah "independensi", kebebasan pers, kemerdekaan pers, yakni merdeka memberitakan apa saja yang penting bagi kebaikan publik, dengan berpegang pada prinisp verifikasi, konfirmasi, berimbang, akurat, dan HANYA mengabdi kepada kebenaran dan publik.
Setidaknya, itulah prinsip dasar jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovach dalam The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Should Expect.
Saya paham, para wartawan yang bekerja di sebuah media, akan kehilangan idealisme dan independensinya, manakala sang pemilik media sudah menentukan "arah berita" (editorial policy) yang harus memihak. Pemodal atau pemilik media adalah penikmat kebebasan pers sesungguhnya!
Pilpres Kali Ini Sungguh Mengerikan!
Sekali lagi, saya merasa "ngeri" (kalo bilangnya "prihatin" takut dikira niru gaya "seseorang") melihat situasi panas-membara di media, terutama media sosial, yang "perang informasi", kampanye negatif (negative campaign), bahkan kampanye hitam (black campaign).
Saya ngeri membaca sejumlah (atau banyak) berita media online yang penuh rekayasa alias manipulasi, guna menggiring atau membentuk opini publik (public opinion).
Tapi, dari lubuk hati yang paling dalam, saya yakin, wartawan profesional tetap loyal pada kebenaran (truth), yakni fakta (fact is sacre!) dan kepentingan publik.
Betapa indah konsep Kovach ini: "Jangan menambah atau mengarang apa pun; Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar!"
Tapi konsep Kovach akan berantakan jika media sudah menjadi corong kelompok kepentingan politik. What do you think? Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Bandung, 17 Juni 2014
Ilustrasi gambar: pinjen sama deteksi.co