Menggagas Jurnalisme Militan dan Underground Press

Jurnalisme Militan dan Underground Press
Pemilik media sangat berkuasa atas media yang dimodali dan dibiayainya. Kebebasan pers yang bergulir di Indonesia sejak 1998 (era reformasi) sejatinya dinikmati oleh para pemilik media atau pemodal (kapitalis). Jurnalisme militan melalui blog, media sosial, dan ‘underground press’ (pers bawah tanah) jadi alternatif dan kekuatan baru.

DI belahan dunia mana pun, bahkan di Amerika Serikat sendiri, pihak yang secara leluasa menikmati kebebasan pers itu adalah “kelompok tertentu”, yakni para pemilik medi massa atau pemodal (kapitalis). 

Akibatnya, kebebasan pers yang berlaku sebenarnya adalah “kebebasan pemilik pers” (freedom for media owner). Alangkah kian berkuasanya jika sang pemilik juga menjadi pemimpin redaksi atau program director.

“Pemilik masih bisa menempatkan berita yang penting untuknya –meskipun tidak terlalu penting untuk umum—di halaman pertama atau pada jam tayang utama (prime time). Sebaliknya, berita tertentu bisa saja ditahan atau batal dimuat. Ini membuktikan, pemilik masih berkuasa,” tulis William L. Rivers dkk. dalam Media Massa dan Masyarakat Modern, Prenada Media Jakarta, 2003). 

Demikianlah fakta di lapangan mengenai kebebasan pers yang tampaknya terus diperjuangkan oleh kalangan wartawan dan broadcaster

Masalahnya, meski kebebasan pers sudah dilindungi negara dan pemerintah relatif tidak lagi ikut campur atau mengintervensi pers, misalnya sensor atau breidel, namun sejauh ini para jurnalis dan penyiar hanya bebas dalam peliputan dan penulisan berita, bukan dalam hal publikasi –pemuatan atau penyiaran. Baru dalam hal “meliput dan menulis” itu pula “otonomi para jurnalis” berlaku.

Banyak wartawan yang meliput dan menulis berita penting dan menarik. Namun, naskah mereka hanya bisa disimpan di komputer, tidak dipublikasikan. 

Seorang wartawan pernah ditanya mengapa ia jarang menulis berita di korannya. “Akang boleh lihat file-file naskah berita yang saya buat. Banyak sekali, kang, namun tidak lolos [tidak dimuat] karena dianggap riskan dan bertentangan dengan selera komisaris!” jawabnya.

Wahai para wartawan, kita bisa merasakan betul bagaimana kebebasan pers sudah kita nikmati. Pemerintah, melalui UU No. 40/1999, sudah memberikan “kemerdekaan” itu dalam meliput, membuat, dan mempublikasikan sebuah berita/informasi.

Namun, kita harus rela berhadapan dengan kenyataan baru, ternyata belenggu kebebasan pers itu masih ada: pemilik atau pemodal! Tapi tanpa pemilik/pemodal, kita pun tidak bisa apa-apa ya…. selama kita belum mampu menerbitkan/mendirikan sendiri media yang siap memuat apa pun berita yang kita anggap penting dan menarik.

Syukur-syukur jika kita menemukan investor, orang yang bingung ngegunain duit misalnya, yang mau memberi kita modal buat mendirikan lembaga pers, cetak ataupun elektronik, dan memberikan kepercayaan penuh (baca: kebebasan) kepada kita, bahwa kita bisa mengelola media itu secara profesional, menguntungan secara bisnis, dan menaati etika jurnalistik.

Belum ada? Ah, bikin blog aja deh…! Memang tidak ada kebebasan mutlak yang bebas sebebas-bebasnya…. Realistis saja lah…. 

Lagi pula, “hukum komunikasi massa” menyebutkan, komunikator dalam komunikasi massa bukanlah individu, tapi lembaga, organisasi. Jadilah kita, para jurnalis/broadcaster, sebagai “institutionalized communicator” dan harus “ikhlas” melepas “sebagian jati diri dan idealisme” kita ketika bergabung dengan sebuah media.

Kebenaran harus disuarakan, dibuka, dipublikasikan, dikatakan, walaupun pahit. Fakta harus disebarkan. Kebenaran, dalam dunia jurnalistik, adalah fakta, benar-benar terjadi, ada datanya, bukan rekayasa. 

"Pers bawah tanah” (underground press) adalah opsi lain untuk mempublikasikan berita atau gagasan yang tidak dipublikasikan media konvensional. William L. Rivers menyebutnya “jurnalisme militan”. 

Apa dan Bagaimana Jurnalisme Militan dan Underground Press?

Nanti dibahas.... Segitu dulu. Posting ini juga update dari posting lama dari blog lama.Wasalam. (www.romelteamedia.com).*

Ilustrasi: frieze.com