Jurnalistik Dakwah awalnya identik dengan Dakwah Bil Qolam (Dakwah Bil Kitabah, Dakwah Bit Tadwin), yaitu dakwah dengan tulisan, seperti lewat tulisan di media massa cetak dan buku, mengingat "pengertian konvensional jurnalistik" yang identik dengan media cetak --suratkabar, tabloid, majalah, atau buletin.
Namun, seiring perkembangan media, jurnalistik dakwah tidak lagi terbatas di media cetak, tapi juga media elektronik (Radio/Televisi) dan media siber (cybermedia, media online, media internet).
Feature radio atau feature televisi, misalnya, jika mengandung kebaikan, kebenaran, dan bernilai syi'ar Islam, maka itu termasuk produk jurnalistik dakwah.
Definisi Jurnalistik Dakwah
Dalam buku Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Dakwah Bil Qolam (Rosdakarya, 2003), saya mendefinisikan Jurnalistik Dakwah atau Jurnalistik Islami sebagai suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut agama dan umat Islam.
Setiap berita, artikel opini, ataupun featyre yang mengandung seruan secara langsung dan tidak langsung, tersurat ataupun tersurat, untuk beriman, berbuat baik (beramal saleh), dan bertakwa kepada Allah SWT masuk dalam kategori jurnalistik dakwah.
Jurnalistik Dakwah dapat juga dimaknai sebagai “proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai- nilai Islam”.
Dapat disimpulkan, jurnalistik dakwah yaitu proses peliputan dan pelaporan peristiwa yang mengandung pesan dakwah berupa ajakan ke jalan Allah SWT.
Setiap berita, artikel opini, ataupun featyre yang mengandung seruan secara langsung dan tidak langsung, tersurat ataupun tersurat, untuk beriman, berbuat baik (beramal saleh), dan bertakwa kepada Allah SWT masuk dalam kategori jurnalistik dakwah.
Dalam literatur jurnalistik, Jurnalistik Dakwah masuk dalam jenis Crusade Journalism, yaitu jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni nilai-nilai Islam. Jurnalistik Islami mengemban misi ‘amar ma'ruf nahyi munkar (QS 3:104).
Jurnalistik Dakwah juga masuk kategori Jurnalisme Profetik (Jurnalisme Nabawi), yaitu jurnalistik yang mengemban misi (risalah) kenabian --menegakkan tauhid dan syiar Islam.
Landasan Jurnalistik Dakwah
"Dasar hukum" Jurnalistik Dakwah yaitu ayat Al-Quran yang juga menjadi dasar aktivitas dakwah secara umum:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran:104).
Menyeru kepada kebaikan (al-khair) dan 'amar ma'ruf nahyi munkar, berdasarkan ayat tersebut, menjadi visi-misi jurnalistik dakwah. Informasi, pesan, tulisan, atau berita yang disebarkan dalam konteks jurnalistik dakwah senantiasa mengacu pada kebaikan dalam perspektif Islam dan bertujuan menegakkan kebenaran serta mencegah hal-hal munkar (bertentangan dengan syariat Islam).
5. Sebagai Pejuang (Mujahid)
Ideologi Jurnalis Muslim
Jurnalistik Dakwah harus menjadi ideologi para jurnalis Muslim. Ideologi ini akan mendorong munculnya ghirah, semangat, membela kepentingan Islam dan umatnya, juga menyosialisasikan nilai-nilai Islam, sekaligus meng-counter dan mem-filter derasnya arus informasi jahili dari kaum anti-Islam.
Ciri khas jurnalistik dakwah adalah menyebarluaskan informasi tentang perintah dan larangan Allah SWT. Ia berpesan (memberikan message) dan berusaha keras untuk mempengaruhi komunikan/khalayak, agar berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.
Jurnalistik Dakwah tentu saja menghindari gambar-gambar ataupun ungkapan-ungkapan pornografis, menjauhkan promosi kemaksiatan, atau hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti fitnah, pemutarbalikkan fakta, berita bohong, mendukung kemunkaran, dan sebagainya. Jurnalistik Islami harus mampu mempengaruhi khalayak agar menjauhi kemaksiatan, perilaku destruktif, dan menawarkan solusi Islami atas setiap masalah.
Ciri khas jurnalistik dakwah adalah menyebarluaskan informasi tentang perintah dan larangan Allah SWT. Ia berpesan (memberikan message) dan berusaha keras untuk mempengaruhi komunikan/khalayak, agar berperilaku sesuai dengan ajaran Islam.
Jurnalistik Dakwah tentu saja menghindari gambar-gambar ataupun ungkapan-ungkapan pornografis, menjauhkan promosi kemaksiatan, atau hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti fitnah, pemutarbalikkan fakta, berita bohong, mendukung kemunkaran, dan sebagainya. Jurnalistik Islami harus mampu mempengaruhi khalayak agar menjauhi kemaksiatan, perilaku destruktif, dan menawarkan solusi Islami atas setiap masalah.
Jurnalis Muslim: Juru Dakwah
Jurnalis Muslim adalah sosok jurudakwah (da’i) di bidang pers atau media yang terikat dengan nilai-nilai, norma, dan etika Islam dalam meliput, menulis, dan menyebarluaskan berita.
Karena jurudakwah menebarkan kebenaran Ilahi, maka jurnalis Muslim laksana “penyambung lidah” para nabi dan ulama. Karena itu, ia pun dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, seperti Shidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.
Shidiq artinya benar, yakni menginformasikan yang benar saja dan membela serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (al-Quran dan as-Sunnah). Amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau mendistorsi fakta, dan sebagainya.
Tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya. Sedangkan fathonah artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat.
Jurnalis Muslim bukan saja para wartawan yang bergama Islam dan comitted dengan ajaran agamanya, melainkan juga para cendekiawan Muslim, ulama, mubalig, dan umat Islam pada umumnya yang cakap menulis di media massa.
Karena jurudakwah menebarkan kebenaran Ilahi, maka jurnalis Muslim laksana “penyambung lidah” para nabi dan ulama. Karena itu, ia pun dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, seperti Shidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.
Shidiq artinya benar, yakni menginformasikan yang benar saja dan membela serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (al-Quran dan as-Sunnah). Amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau mendistorsi fakta, dan sebagainya.
Tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya. Sedangkan fathonah artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat.
Jurnalis Muslim bukan saja para wartawan yang bergama Islam dan comitted dengan ajaran agamanya, melainkan juga para cendekiawan Muslim, ulama, mubalig, dan umat Islam pada umumnya yang cakap menulis di media massa.
Lima Peran Jurnalis Dakwah
Setidaknya ada lima peranan jurnalis Muslim, yaitu:
1. Sebagai Pendidik (Muaddib).
1. Sebagai Pendidik (Muaddib).
Jurnalis Muslim atau Jurnalis Dakwah melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran Islam daru rata-rata khalayak pembaca. Lewat media massa, ia mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Ia memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari berperilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.
2. Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid).
2. Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid).
Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim:
- Informasi tentang ajaran dan umat Islam.
- Informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam.
- Dituntut mampu menggali --melakukan investigative reporting-- tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Peran Musaddid terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers Barat biasanya biased (menyimpang, berat sebelah) dan distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak disukainya. Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) yang merupakan produk propaganda pers Barat yang anti-Islam.
3. Sebagai Pembaharu (Mujaddid)
3. Sebagai Pembaharu (Mujaddid)
Yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Jurnalis Muslim hendaknya menjadi “jurubicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
4. Sebagai Pemersatu (Muwahid)
4. Sebagai Pemersatu (Muwahid)
Yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi atau both side information) harus ditegakkan.
5. Sebagai Pejuang (Mujahid)
Yaitu pejuang-pembela Islam. Melalui media massa, jurnalis Muslim berusaha keras membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan lil’alamin, serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat.
Yang Terabaikan: Profesionalisme!
Saat ini, alhamdulillah, banyak sekali media Islam, terutama di internet (media online). Namun, banyak media Islam terkesan mengabaikan teknik/skill dan kode etik jurnalistik.
Tidak salah, namun hal itu berpengaruh pada kualitas berita secara jurnalistik. Bercampurnya fakta dan opini, bukan saja melanggar kode etik pemberitaan, namun juga menghasilkan berita yang "kurang enak" dibaca, terutama oleh mereka yang "ghirah keislamannya" kurang.
Selain soal pencampuran fakta dan opini, wartawan media Islam online juga tampak lemah dalam penguasaan bahasa jurnalistik. Masih banyak didapatkan berita-berita yang berisi kata mubazir dan kata jenuh, mehingga mengurangi efektivitas kalimat dan naskah berita secara keseluruhan.
Jurnalis Dakwah atau pengelola media Islam hendaknya profesional, yakni menguasai ilmu, teori, dan skill jurnalistik dengan baik. Islam juga memerintahkan demikian:
"Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla" (HR. Ahmad).
Kelamahan media Islam online secara umum adalah "sektarian", dalam arti berpihak pada kelompok atau organisasi tertentu. Sebuah media yang "sektarian" akan merugikan media itu sendiri secara ideal dan komersial (bisnis).
Jurnalis Dakwah atau pengelola media Islam hendaknya profesional, yakni menguasai ilmu, teori, dan skill jurnalistik dengan baik. Islam juga memerintahkan demikian:
"Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla" (HR. Ahmad).
Kelamahan media Islam online secara umum adalah "sektarian", dalam arti berpihak pada kelompok atau organisasi tertentu. Sebuah media yang "sektarian" akan merugikan media itu sendiri secara ideal dan komersial (bisnis).
Demikian pemikiran atau konsep versi saya tentang Dasar-Dasar Jurnalistik Dakwah yang bisa dikembangkan dan diterapkan. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
-- Sumber: Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Dakwah Bil Qolam. Penerbit: Rosdakarya, Bandung, 2003.