DI blog terdahulu, saya pernah menulis soal Opini dalam Berita. Saya contohkan di sana berita tentang kekalahan Real Madrid 0-5 dari Barcelona. Wartawan/media pun “beramai-ramai” menulis berita, seperti "Barca Permalukan Madrid”.
Kata "permalukan" dalam judul di atas adalah opini atau interpretasi wartawan. Dapat dibayangkan, betapa sakit hatinya pihak Madrid dan pendukungnya membaca berita tersebut dan betapa senangnya pendukung Barca membaca berita tersebut!
Bukti bahwa kata "dipermalukan" adalah semata-mata opini wartawan adalah pernyataan pelatih Madrid, Jose Maurinho. Diberitakan Liputan6, “Mourinho Tak Terima dengan Kata ‘Dipermalukan’. Ini kutipannya:
“Satu tim bermain sangat bagus (Barcelona), satu lagi sangat buruk. Satu pantas menang, satunya lagi pantas kalah,” papar Mourinho bisa menerima kekalahan tersebut. Tetapi, “Dipermalukan Tidak. Sederhana saja dalam menerima kekalahan ini, kami hanya bermain tidak bagus.”
Nah, jelas ‘kan, “permalukan” bukan fakta, tapi opini. Buktinya, Maurinho menolak dikatakan “dipermalukan” dan tidak ada pernyataan narasumber (pihak Madrid) yang mengaku “merasa malu atau dipermalukan”.-
Penggunaan kata "permalukan" hanya satu dari sekian contoh diselipkannya opini dalam berita olahraga. Berita olahraga umumnya penuh sensasi, bahkan mengandung "kekerasan", seperti penggunaan kata "hantam", "bantai", "bekuk", "tekuk", "hajar", "tumbangkan", "gempur", "bekap", "benamkan", "libas", dan sebagainya.
Kata-kata pujian cenderung "lebay" juga sering muncul dalam berita olahraga, terutama berita sepakbola, misalnya "gol spektakuer", "gol ala Shaolin Soccer", "dengan cerdik mengecoh...", "fantastis", "mengamuk", dan sebagainya.
Belum lagi dalam isi beritanya. Banyak pencampuran antara opini dan fakta, bahkan cenderung menjadi "berita gosip". Di musim transfer pemain saat ini, misalnya, begitu berseliweran rumor dan gosip tentang transfer pemain. Akibatnya, berita olahraga menjadi "saingan" infotainment yang identik dengan gosip dan rumor.
Bolehkah Ada Opini dalam Berita Olahraga?
Salah satu kode etik jurnalistik menyebutkan, wartawan “tidak boleh mencampurkan fakta dan opini” dalam menulis berita. Tegasnya, wartawa tidak boleh memasukkan opininya dalam menulis berita. Kalau mau beropini, ya… tulis saja artikel opini!Namun, khusus dalam berita olahraga, opini dibolehkan, selama bukan berupa "penghakiman" (judge) kepada altel, pemain, atau tim karena berisiko terkena "delik pers" --pasal pencemaran nama baik.
Opini wartawan dalam berita olahraga tetap mengacu pada fakta (faktual). Musim lalu, Manchester United (MU) terpuruk di Liga Inggris. Kata "terpuruk" itu opini, kecuali ada fakta bahwa ada narasumber di pihak MU yang mengatakan "Kami terpuruk musim ini". Bagaimana kalau tidak ada narasumber?
Tidak masalah karena kata terpuruk itu sesuai dengan fakta (faktual): MU tidak bisa mempertahankan gelar juara, sering kalah di kandang sendiri, ada di posisi 7 klasemen akhir, dan tidak bisa ikut turnamen apa pun di level Eropa (Liga Europe dan Liga Champions).
Contoh lainnya adalah berita tentang Timnas Indonesia U-19 yang "gatot" (gagal total) dalam turnamen Hassanal Bolkiah Trophy (HBT) 2014 di Brunei Darussalam. Evan Dimas dkk., dalam lima pertandingan, cuma menag sekali, draw sekali, dan kalah tiga kali! Anak-anak asuh Indra Sjafri ini pun tidak bisa melaju ke semifinal.
Simak deh berita-beritanya, misalnya: "Timnas Tampil Melempem di Brunei", "Timnas U-19 Terpuruk di Brunei", "Timnas U-19 Babak Belur di HBT", atau "Timnas U-19 Tampil Jeblok". Haduuh... bagaimana persaan Evan Dimas dkk saat baca berita-berita itu ya?
PWI: Opini Dibolehkan dalam Berita Olahraga
"Dalam penyajian berita olahraga, ada sedikit perbedaan yang bisa ditampilkan oleh wartawan, yakni dalam segi opini. Wartawan olahraga boleh memasukkan opininya ke dalam berita dengan catatan tidak men-judge dan bersifat hanya memburukkan objek berita. Penyajian opini ini adalah unsur lain dalam menyajikan berita olahraga yang menarik, selain kedemokratisan (tidak memihak, red) berita, transparansi, dan fakta berita adalah unsur-unsur penting."
''Pers adalah penyampai informasi yang sekaligus memiliki fungsi mendidik, menghibur, dan sebagai kontrol sosial di masyarakat itu sendiri. Berbeda dengan berita lainnya, berita olahraga bisa memuat opini wartawan, asal tidak menjudge sang atlet,'' tutur Raja Pane seperti diberitakan Hallo Raiu.
Opini wartawan yang dimaksud adalah paparan tentang perkiraan dan harapan-harapan kedepan terkait suatu pertandingan atau capaian atlet yang tentu juga ingin diketahui masyarakat yang membaca berita sebagai latar belakang.
Ditambahkan Raja, untuk bisa meracik berita olahraga yang menarik dan akurat, wartawan olahraga haruslah memperhatikan hal-hal seperti seluk beluk cabang olahraga yang diberitakan, sejarahnya, catatan juara bertahan dan hadiah yang diraih. Tak kalah penting juga data-data pendukung, statistik, klasemen, dan dukungan perpustakaan.
Opini wartawan yang dimaksud adalah paparan tentang perkiraan dan harapan-harapan kedepan terkait suatu pertandingan atau capaian atlet yang tentu juga ingin diketahui masyarakat yang membaca berita sebagai latar belakang.
Ditambahkan Raja, untuk bisa meracik berita olahraga yang menarik dan akurat, wartawan olahraga haruslah memperhatikan hal-hal seperti seluk beluk cabang olahraga yang diberitakan, sejarahnya, catatan juara bertahan dan hadiah yang diraih. Tak kalah penting juga data-data pendukung, statistik, klasemen, dan dukungan perpustakaan.
Nah, jelas ya.... dalam berita olahraga boleh "centil" dan "sensasional" (namun tetap akurat, berimbang, dan faktual) seiring dengan spirit olahraga yang biasanya bersemangat, penuh drama, "heboh", bahkan "ricuh". Jangan coba-coba beropini dalam berita serius, berita politik misalnya, bisa-bisa wartawan kena "delik pers", minimal "diserang" kekuatan politik yang merasa dirugikan. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*