Sikapi Berita Keliru dengan
Hak Jawab, Bukan dengan Penyerbuan. Itulah salah satu pesan yang terkandung dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Para petinggi partai, apalagi yang menjadi anggota DPR, tentunya paham betul soal itu karena UU adalah salah satu produk parlemen.
Hak Jawab, menurut UU Pers, yaitu Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. (Pasal 5 ayat (2) UU Pers: Pers wajib melayani Hak Jawab).
Hak Jawab yaitu hak seseorang atau lembaga, organisasi, serta badan hukum dalam menanggapi atau menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar kode etik jurnalistik. Terutama ketidakakuratan dan kekeliruan fakta yang merugikan nama baiknya kepada pers yang mempublikasikannya.
Disebutkan juga, media atau lembaga pers yang tidak melayani Hak Jawab, selain dinilai melanggar Kode Etik Jurnalistik, juga dapat dijatuhi
sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Mekanisme Hak Jawab
Menakisme Hak Jawab dijabarkan dalam Peraturan
Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers No 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik.
Dalam Pasal 10 disebutkan: "Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa."
Peraturan Dewan Pers juga menegaskan, media atau lembaga pers wajib melayani setiap Hak Jawab.
Fungsi Hak Jawab adalah:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat;
b. Menghargai martabat dan kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers;
c. Mencegah atau mengurangi munculnya kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dan pers;
d. Bentuk pengawasan masyarakat terhadap pers.
Tujuan Hak Jawab untuk:
a. Memenuhi pemberitaaan atau karya jurnalistik yang adil dan berimbang;
b. Melaksanakan tanggung jawab pers kepada masyarakat;
c. Menyelesaikan sengketa pemberitaan pers;
d. Mewujudkan iktikad baik pers.
Hak Jawab diajukan langsung kepada pers yang bersangkutan, dengan tembusan ke Dewan Pers.
Pengajuan Hak Jawab dilakukan secara tertulis (termasuk digital) dan ditujukan kepada penanggung jawab pers bersangkutan atau menyampaikan langsung kepada redaksi dengan menunjukkan identitas diri.
Namun demikian, pers juga dapat menolak isi Hak Jawab jika:
a. Panjang/durasi/jumlah karakter materi Hak Jawab melebihi pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan;
b. Memuat fakta yang tidak terkait dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan;
c. Pemuatannya dapat menimbulkan pelanggaran hukum;
d. Bertentangan dengan kepentingan pihak ketiga yang harus dilindungi secara hukum.
Selengkapnya:
Pedoman Hak JawabFormat Hak Jawab
Hak Jawab dengan persetujuan para pihak dapat dilayani dalam format:
- Ralat,
- Wawancara,
- Profil,
- Features,
- Liputan,
- Talkshow,
- Pesan berjalan,
- Komentar media siber,
- Format lain tetapi bukan dalam format iklan;
Selain Hak Jawab, UU Pers juga mengatur hak dan kewajiban lainnya terkait pemberitaan yang keliru, yaitu
- Hak Koreksi. Yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain
- Kewajiban Koreksi. Keharusan media atau lembaga pers melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Jelas, itulah "koridor hukum" yang diatur dalam UU berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 demi stabilitas nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (nyambung gak ya.... ^_^).
Jika semua petinggi partai tahu itu, jika semua timses mematuhi itu, jik semua relawan "taat hukum", maka kasus penyerbuan kantor TV One dan kasus-kasus sejenis tidak akan terjadi. Petinggi partai pun tidak akan mengeluarkan instruksi pengepungan atau penyerbuan alias "aksi premanisme" yang hanya merugikan semua pihak.
Hak Jawab, Bukan Penyerbuan
Sekali lagi, sikapi Sikapi Berita Keliru dengan Hak Jawab, Bukan dengan Penyerbuan. Kasus terbaru, yaitu pengerahan massa yang dilakukan PDI Perjuangan ke kantor TV One di Jakarta dan Yogyakarta, bukan saja dinilai sebagai pengabaian tertahadap koridor hukum (UU Pers), tapi juga "ancaman dan teror bagi kebebasan pers".
Saya sepakat dengan pernyataan Pengamat Media UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Iswandi Syahputra:
"Ini bukan ancaman lagi, tapi sudah teror bagi kebebasan pers. Kebebasan pers tidak bisa dibungkam dengan cat semprot. Kalau merasa dirugikan, silahkan gunakan hak jawab semua diatur oleh Undang-Undang." (
Tribunnews).
Menurut Iswandi, akibat tindakan anarkisme tersebut, ada tiga kerugian politik bagi pasangan Jokowi-JK.
- Menegaskan memang ada kebangkitan neo-komunisme. Sebab komunisme selalu gunakan segala cara untuk capai tujuan, termasuk cara kekerasan.
- Ini bukan pelajaran baik bagi penegakkan hukum. Artinya, Jokowi-JK tidak mampu tegakkan hukum bagi pundukungnya apalagi kelak bagi rakyat.
- Jokowi-JK dapat menjadi musuh demokrasi sebab pers yang bebas adalah pilar demokrasi.
Jadi, saudara-saudara, mari kita taati UU Pers. Pemerintah, dewan pers, dan kalangan media juga harus mengkampanyekan soal Hak Jawab ini. Kalangan Humas instansi/perusahaan WAJIB memiliki, membaca, dan memahami UU Pers.
Di pihak lain, kalangan media juga WAJIB mematuhi kode etik jurnalistik, terutama dalam hal akurasi, berimbang, dan verifikasi. Tugas wartawan adalah melaporkan, bukan menilai! Mengabarkan, bukan menggiring opini!
Memihak kepada publik, bukan memihak pemilik! Nah.... haha... yang terakhir ini nih.... PALING SULIT dihindari wartawan. Benar 'kan,
kebebasan pers hanya dinikmati pemilik (
freedom for media owner)?
Kembali ke soal Hak Jawab. Pemerintah, Dewan Pers, dan lembaga pers tampaknya harus sosialisasi lagi UU Pers, agar masyarakat menyikapi berita yang keliru dengan Hak Jawab, bukan dengan penyerbuan dan sejenisnya. Ngeri ah! Wasalam. (www.romelteamedia.com).*