Penulisan Kata "Beliau" dalam Berita

Penulisan Kata "Beliau" dalam Berita
SAYA sering mengedit berita kiriman reporter yang sedang belajar dan/atau mahasiswa jurnalistik. Salah satu kata yang sering saya hapus & ganti adalah kata "beliau".

Mungkin karena rasa hormatnya pada narasumber (new source) yang diberitakan, mereka menggunakan kata "beliau", bukan "ia" atau "dia".

Saya tidak menyalahkan penulisan kata "beliau" dalam berita. Saya sering persilakan mereka mencari kata "beliau" dalam berita di media-media ternama. Mereka tidak menemukannya.... karena memang kata "beliau" itu nyaris tak pernah ada dalam naskah berita wartawan profesional.

Kata "beliau" tidak lazim digunakan dalam penulisan berita, meski maksudnya baik: menunjukkan rasa hormat. Masalahnya, bahasa media atau bahasa jurnalistik itu "egaliter", memperlakukan narasumber sama-sederajat, sehingga wartawan pun lebih menggunakan kata "ia" atau "dia" --tanpa bermaksud "tidak sopan".

Arti Kata Beliau

Kata "beliau" adalah kata ganti orang ketiga, seperti halnya "dia" atau "ia". Menurut Kamus Bahasa, "beliau" artinya "orang yang dibicarakan (digunakan untuk menghormatinya)".

Kata "beliau" merupakan sebutan kehormatan; digunakan sebagai kata ganti orang ketiga yang dihormati.

Dalam pemberitaan di media-media Indonesia, kata "beliau" sangat langka ditemukan. Media kita lebih memilih kata "dia" atau "ia" untuk menyebutkan orang ketiga. Mengapa?

Dua Alasan Tidak Menggunakan "Beliau" dalam Berita

Setidaknya ada dua alasan wartawan menghindari kata "beliau" dalam berita dan lebih memilih kata "dia" atau "ia".
  1. Pemberitaan harus "netral", tidak ada keberpihakan (imparsial). Penggunaan kata "beliau" dalam berita dianggap sebagai sebuah bentuk keberpihakan, kelemahan, bahkan ketundukan sang wartawan atau media kepada narasumber.
  2. Dalam menulis berita, wartawan menggunakan bahasa jurnalistik. Salah satu karakteristik bahasa jurnalistik itu egaliter, yakni memperlakukan semua orang sama. 
Dengan dua alasan yang bersifat "standar penulisan jurnalistik" itu, pejabat atau rakyat biasa sama-sama disebut atau ditulis namanya saja, misalnya Jokowi yang presiden, Din Syamsudin yang ulama ketua MUI, dengan Mas Joko atau Mang Udin yang rakyat biasa, sama-sama ditulis namanya: Jokowi, Din, dan Udin.

Kata gantinya pun sama: dia atau ia, bukan beliau. Sekali lagi, tanpa bermaksud tidak hormat atau tidak sopan serta tanpa bemaksud merendahkan.

Mungkin, bagi sebagian wartawan, ada perasaan “tidak enak” atau “merasa tidak sopan” kalo hanya menulis nama, misalnya aktivis Muhammadiyah ngerasa kurang “sreg” jika harus nulis:
  • Menurut Din Syamsudin, Muhummadiyah harus… 
  • “Kita harus berani,” kata dia. 
Tapi itulah aturannya.
    Sekali lagi, bahasa jurnalistik itu egaliter; memperlakukan semua orang sama, sederajat, memandang semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum sehingga tidak boleh diperlakukan berbeda.

    Bahasa jurnalistik “tidak mengenal” tingkatan, kasta, pangkat, atau seperti “undak-usuk basa” dalam bahasa Sunda atau Jawa.

    Kapan Menggunakan Kata Beliau?

    Kata "beliau" lazim digunakan sebagai kata ganti Nabi Muhammad Saw, Sahabat Nabi, dan Ulama Salafush Shalih:

    • Nabi Muhammad lahir di Mekkah. Beliau lahir dalam keadaan yatim.
    • Abu Bakar merupakan sahabat Nabi Saw paling senior. Beliau pun disepakati menjadi khalifah pertama sepeninggal Nabi Saw. 
    • Imam Syafi'i hafal Al-Quran sejak kecil. Beliau berguru kepada banyak ulama.
    Demikian standar penulisan kata "beliau" dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa jurnalistik.

    Lalu, bagaimana jika wartawan "keukeuh" menggunakan kata "beliau" dalam berita? Tidak ada larangan, sebagaimana tidak ada anjuran. Sah sah saja, namun... tidak lazim dan tidak memenuhi kaidah bahasa jurnalistik. Juga tidak dosa dan bukan tindak pidana.

    Sekali lagi, penulisan kata "beliau" di naskah berita hanya tidak lazim. Jika tetap dilakukan, bukan dosa dan bukan pidana, namun sang wartawan akan terkesan "belum profesional". Wasalam. (www.romelteamedia.com).*