Tidak Ada Media & Jurnalistik yang Netral

netralitas media jurnalistik
Dalam dunia jurnalistik dan media tidak dikenal istilah "netralitas". Yang ada: independen. Maka, jurnalistik itu tidak ada yang netral. Media "selalu" berpihak pada pemilik.

"Jurnalistik Tidak Netral". Demikian dikemukakan cendekiawan & penulis Adian Husaini. "Kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa atau akrab disebut jurnalistik bukanlah pekerjaan yang netral. Apalagi jika dilepaskan dari rambu-rambu agamanya, katanya dalam sebuah acara seperti dikutip hidayatullah.com.

Setelah membaca judulnya saja, saya langsung teringat dua posting lama saya tentang "Semua Media Massa Berbohong" dan "Menggagas Pers Bawah Tanah". Rujukan utamanya adalah buku William L. Rivers dkk. Media Massa & Masyarakat Modern (Prenada Media, 2003:10).

Dalam buku itu Rivers dkk menegaskan ketiadaan netralitas media alias tidak ada media/jurnalistik yang netral. Jurnalistik atau media "selalu" berpihak, yakni kepada pemiliknya.

Kebebasan pers yang bergulir di Indonesia sejak 1998 (era reformasi) lebih dinikmati oleh para pemilik modal (kapitalis). Belakangan, para pemilik media "lebih" menjadikan medianya sebagai media propaganda untuk kepentingan politik ketimbang media jurnalitik. Sebut saja Metro TV (Nasdem) dan TV One (Golkar). (Baca juga: Media Propaganda vs Media Jurnalistik)

Kembali ke soal Media & Jurnalistik Tidak Netral. Di belahan dunia "mana pun", bahkan di Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara liberal, pihak yang secara leluasa menikmati kebebasan pers itu adalah “kelompok tertentu”, yakni para pemilik medi massa atau pemodal (kapitalis) itu!

Kebebasan Pers Milik Pemodal



Akibatnya, seperti dikemukakan Rivers dkk., kebebasan pers yang berlaku sebenarnya adalah “kebebasan pemilik pers” (freedom for media owner).

“Pemilik masih bisa menempatkan berita yang penting untuknya –meskipun tidak terlalu penting untuk umum—di halaman pertama atau pada jam tayang utama (prime time). Sebaliknya, berita tertentu bisa saja ditahan atau batal dimuat. Ini membuktikan, pemilik masih berkuasa,” (William L. Rivers dkk., 2003).

Publik dan para wartawan tentu merasakannya. Seheboh apa pun kasus Lapindo, dijamin tidak akan nongol di TV One, seperti tidak akan pernah adanya berita negatif tentang Nasdem dan Jokowi di Metro TV.

Seorang mahasiswa  pernah "menggugat" saya karena saya mengatakan pers mahasiswa yang dibiayai kampus harus menjadi corong kampus, memberitakan hal positif tentang kampus. Mahasiswa tadi belum merasakan dunia media yang sebenarnya.

Idealisme wartawan memang akan "terpasung" begitu menjadi karyawan sebuah media. Pasalnya, idealisme wartawan media mana pun, wajib menyelaraskan pemberitaannya dengan Visi, Misi, dan Kebijakan Redaksi (Editorial Policy) yang pasti berpihak pada pemilik/pemodal.

Sastrawan dan jurnalis senior, Goenawan Mohamad, juga pernah menegaskan: media dalam pemberitaannya tidak harus netral. "Hal terpenting, pemberitaan media tidak untuk memfitnah," katanya. (Tempo).


Makin jelas 'kan? Tidak ada media yang netral. Jurnalistik tidak netral. Yang ada adalah "independensi" alias "kebebasan memihak". Pihak mana yang dipihak, tergantung "ideologi" pemilik media dan "kadar keimanan" wartawan & editor. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*