DULU, setidaknya di media tempat saja bekerja, wartawan mendapatkan tunjangan transportasi yang sama besar dengan jajaran pimpinan, yakni senilai 3 liter. Alasannya, wartawan itu mobile, harus ke sana ke mari untuk liputan.
Kini, wartawan tidak harus mendapatkan tunjangan transportasi lagi, diganti dengan "tunjangan pulsa". Pasalnya, reporter sekarang, di era internet, melakukan liputan secara online. Mereka "jalan-jalan" di akun-akun media sosial, mengintip trending topic, Google trend, status Facebook, ngintip video terbaru dan terunik di Youtube, "nongkrongin" Instagram atau Path, dll.
Sangat sering, berita yang dibuat media sekarang bersumberkan media sosial --menjadi jurnalistik media sosial.
Untuk reporter "desk luar negeri", lebih mudah lagi. Tinggal "intip" berita terbaru di situs-situs luar negeri and then... translate it! Muncullah berita "dilansir laman" atau "seperti diberitakan situs...". Memberikan berita, jadinya :)
Jurnalisme warga berkembang pesat seiring pesatnya pertumbuhan media sosial. Publik kini bukan hanya sebagai user (pengguna) atau reader (pembaca), tapi juga bisa merangkap sebagai publisher (penyebar informasi) layaknya wartawan pro.
Kehadiran berbagai platform blog juga menjadikan publik saat ini bisa memiliki media sendiri (blog) dengan tampilan yang tidak kalah bagus dengan portal berita. Jika ditambah keterampilan SEO (Search Engine Optimization), popularitas blog-blog pribadi bisa mengalahkan media mainstream.
Mixed News Media
Saat ini kita berada di era media berita campuran antara karya reporter dan jurnalisme warga via media sosial.
Dalam sebuah postingnya, laman Universitas Wisconsin Madison USA menjelaskan, saat ini kita bergerak menuju "media berita campuran" (a mixed news media) --sebuah media berita warga dan jurnalis profesional melalui banyak platform media.
"We are moving towards a mixed news media – a news media citizen and professional journalism across many media platforms"
Karena bisa berperan sebagai publisher, warga atau publik saat ini tidak perlu "nelpon wartawan" atau menunggu kehadiran pers untuk publikasi sebuah peristiwa. Bahkan, itu tadi, sering banget media mainstream menjadikan update status di media sosial sebagai bahan berita.
Kalimat "heboh di media sosial" atau "reaksi netizen" sering muncul dalam pemberitaan portal berita. Tidak lain berupa liputan online terhadap status media sosial plus "like" dan "comments".
Sebuah meme lucu pun sering menjadi sumber berita, meski meme tersebut "tidak penting" untuk kepentingan bangsa dan negara (dalem banget nih!).
Masa Depan Profesi Reporter alias "Wartawan Lapangan"
Dalam posting sebelumnya, Masa Depan Jurnalistik Milik Jurnalisme Warga, saya memprediksi, di masa depan, peran reporter (wartawan peliput peristiwa) di dunia pers atau bisnis media akan berkurang, bahkan mungkin tidak diperlukan lagi, digantikan oleh warga yang aktif menyebarkan informasi aktual via media sosial, email, smartphone, WhatsApp, BlackBerry Messenger/BBM Broadcast, dan sebagainya.
Media-media komersial hanya butuh konfirmasi dan verifikasi, lalu mengolah kembali berita-berita karya para amatir (jurnalis warga) itu, untuk disajikan lebih baik, menarik, dan enak dibaca.
Peran reporter akan kian terpinggirkan jika sang reporter minim skills jurnalistik dan tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. (Baca: Skill yang Harus Dimiliki Wartawan Media Online).
Seiring berkurangnya peran reporter, maka peran editor kian "berjaya". Ia harus mampu "memainkan kata kunci" untuk judul dan lead berita, demi persaingan di mesin pencari dan "promosi" di media sosial. Teknik SEO memainkan peran besar dalam perlombaan media meraih pengunjung (trafik). Wasalam. (www.romelteamedia.com).*