Fairness Doctrine juga menjadi filter bagi redaksi dalam menilai sebuah rilis (press release) yang diterima dari sebuah instansi/perusahaan.
Fairness Doctrine mengajarkan agar wartawan, sebelum menulis berita, benar-benar melakukan verifikasi, cek dan ricek, atas kebenaran sekaligus "kemasukakalan" sebuah peristiwa.
Wartawan harus melakukan verifikasi apakah sebuah fakta itu benar-benar "masuk akal" alias bisa diterima akal sehat.
Demikian konsep Fairness Doctrine yang saya pahami, sesuai dengan penjelasan pakar pers, Atmakusuma, dalam sebuah pelatihan jurnalistik yang pernah saya ikuti.
Konsep ini berasal dari aturan, regulasi, atau kebijakan Komisi Komunikasi Federal Amerika Serikat atau United States Federal Communications Commission (FCC) yang mengharuskan media memberitakan sebuah peristiwa, terutama isu kontroversial, secara jujur, wajar, dan berimbang.
The Fairness Doctrine was a policy of the United States Federal Communications Commission (FCC), introduced in 1949, that required the holders of broadcast licenses to both present controversial issues of public importance and to do so in a manner that was, in the Commission's view, honest, equitable and balanced. ( Fairness Doctrine - Wikipedia, the free encyclopedia).
Inti dari Fairness Doctrine adalah kewajiban media yang diatur pemerintah untuk menampilkan informasi yang berimbang, tentunya Jujur apa adanya, tanpa dikurangi dan ditambahi, dan tanpa menyisipkan kepentingan suatu pihak.
Akibat Fairness Doctrine: Publikasi HOAX
Wartawan yang tidak menaati kaidah Fairness Doctrine sering terjebak pada sumber berita hoax alias berita bohong yang kian populer di dunia maya. (Baca: Fenomena Hoax Ekses Kebebasan Dunia Maya).
Contoh "kekhilafan" wartawan kita adalah saat mengutip berita tentang sebuah kota di Amerika Serikat yang menerapkan syariat Islam: Dearborn, Michigan. Sungguh memalukan, wartawan atau media kita begitu saja mengutip/menerjemahkan berita dari situs satir National Report.
Situs berita seperti merdeka.com dan liputan6.com menurunkan berita tersebut yang dikutip (copas) oleh media dan blogger dengan judul yang relatif seragam: Ini Kota Pertama di Amerika yang Terapkan Syariat Islam.
Kabar bahwa Kota Dearborn, negara bagian Michigan, Amerika Serikat, menerapkan Syariat Islam itu HOAX alias berita bohong.
Sumber berita adalah posting yang ditulis situs web satir National Report: City in Michigan First to Fully Implement Sharia Law.
Situs web satir artinya situs yang berisi berita sindiran, bukan berita beneran, seperti diberitakan Huffington Post: Dearborn, Michigan Is Under Sharia Law, Says Satirical Website.
Sayangnya, berita itu dianggap beneran oleh --misalnya-- wartawan merdeka.com dengan menulis berita: Ini kota pertama di Amerika yang terapkan syariat Islam.
Sejumlah situs Islam, sebut saja Islamedia.co dan Arrahmah.com juga turut "terjerumus" mengabarkan hoax tersebut. Lainnya, misalnya, Harian Aceh.
Kebayang 'kan, jika redaksi National Reports membaca berita mereka, maka bisa jadi mereka menertawakannya dan bahkan mungkin menyebut media-media tersebut "bloon" (maaf) atau "jahil" karena dengan mudah percaya begitu saja atas info yang muncul.
Dalam kasus hoax kota pertama di Amerika yang menerapkan syariat Islam ini, jelas ini "kecerobohan" wartawan/redaksi sekaligus akibat pengabaian Fairness Doctrine sebagai salah satu panduan penulisan berita. Semoga tidak terulang. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*