Memeras artinya meminta uang (duit) secara paksa kepada narasumber. Memelas juga sama, meminta uang namun secara "halus" alias "merengek".
Sebutan lainnya bagi wartawan demikian antara lain wartawan gadungan, wartawan abal-abal, WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar), CNN (Cuma Nanya Nyanya), Muntaber (Muncul tanpa berita), dan... naon deui tah...?
Wartawan gadungan ini sudah lama muncul dan berkembang. Kehadiran mereka bukan saja mencemarkan nama baik corps wartawan atau insan pers, tapi juga sangat meresahkan banyak kalangan, terutama kalangan pejabat, instansi, bahkan guru-guru di sekolah-sekolah.
Sebutan lainnya bagi wartawan demikian antara lain wartawan gadungan, wartawan abal-abal, WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar), CNN (Cuma Nanya Nyanya), Muntaber (Muncul tanpa berita), dan... naon deui tah...?
Wartawan gadungan ini sudah lama muncul dan berkembang. Kehadiran mereka bukan saja mencemarkan nama baik corps wartawan atau insan pers, tapi juga sangat meresahkan banyak kalangan, terutama kalangan pejabat, instansi, bahkan guru-guru di sekolah-sekolah.
Cara Menghadapi Wartawan
Cara menghadapi wartawan gadungan menjadi "pertanyaan favorit” yang selalu muncul, setiap kali saya menjadi pemateri pelatihan jurnalistik, termasuk di BATIC. Jawaban saya biasanya sebagai berikut:
- Perlakukan wartawan yang datang sebagai tamu –disambut ramah, dipersilakan masuk/duduk, disuguhi minum –juga makanan jika ada.
- Tanyakan nama, nama medianya, dan jika perlu minta ditunjukkan identitasnya (Press Card). Jika meragukan, minta contoh medianya dan telepon kantor redaksinya untuk konfirmasi.
- Tanyakan maksud kedatangannya. Jika mau wawancara, layani dengan baik. Jika sekadar silaturahmi, ngobrol-ngobrol, layani saja layaknya tamu. Jika Anda sibuk, sampaikan saja baik-baik.
- Jika ia memeras, mengancam, atau sejenisnya, perlakukan dia sebagai “preman berkedok wartawan”. Dengan nada bercanda saya katakan, “Serahkan ke petugas kemanan atau laporkan ke polisi!”
- Jika ia “memelas”, minta “sesuatu” selain informasi, berarti dia “pengemis berkedok wartawan”, ia termasuk kaum dhuafa. Maka, dengan nada bercanda saya katakan, “Arahkan dia ke dinas sosial, lembaga amil zakat atau lembaga pemberdayaan fakir-miskin!”
- Jika ia mengancam menjelek-jelekkan citra sekolah atau lembaga Anda, biarkan saja, dia salah, mencemarkan nama baik, bisa dilaporkan ke Dewan Pers bahkan langsung ke polisi dengan dakwaan “pencemaran nama baik”. Lagi pula, saya bilang, “Biasanya dia dari koran abal-abal, biarin aja, gak ada yang baca kok!” Lebih penting lagi, jangan lakukan pelanggaran atau penyalahgunaan dana dan wewenang! Kalau “bersih”, mengapa harus takut?
Wartawan Aman!
Setelah mendapatkan informasi atau konfirmasi itu, wartawan pro akan mengucapkan terima kasih dan pulang! That's it! No more... Gak akan minta ongkos, apalagi maksa. Paling-paling minta minum doang kalo dia haus.....
Jika disodori uang, wartawan pro akan menolak karena wartawan profesional itu punya dan taat kode etik. Salah satu kode etik jurnalistik menyebutkan:
Pasal 6: Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran:
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi..
Tiga Jenis Wartawan
Ketiga golongan wartawan ini juga sering saya kemukakan di berbagai forum pelatihan jurnalistik atau kehumasan. Satu wartawan "beneran". Dua lainnya hanya "oknum" bahkan wartawan "bo-ongan".
- Wartawan profesional. Ini wartawan beneran. The True and Real Journalist! Mereka menaati kode etik, selain menguasai masalah yang ditulis (diberitakan) dan menguasai betul teknis penulisan dan reportase.
- Wartawan pemeras. Ini oknum, bahkan bisa jadi ia wartawan gadungan alias palsu. Wartawan yang suka memeras sama saja dengan preman. Dengan demikian, bisa dikatakan wartawan pemeras ini tidak lain adalah "preman berkedok wartawan".
- Wartawan pemelas. Ini juga oknum, tapi mayoritas adalah "pengemis berkedok wartawan".
Keberadaan empat golongan wartawan itu dikemukakan mantan Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, dalam sebuah acara di Serang, Banten, 30 Januari 2013.
Menurut Leo, saat ini ada empat golongan wartawan yang harus disikapi berbeda oleh masyarakat:
- Wartawan yang menolak “amplop”. Mereka beranggapan menerima amplop bertentangan dengan fungsi yang dijalankannya.
- Wartawan yang menerima amplop. Mereka beralasan perusahaan persnya tidak memberi gaji yang mencukupi.
- Wartawan yang memperalat pers untuk mendapat uang. Banyak dari golongan ini yang membuat penerbitan pers hanya untuk menjadi alat pemeras narasumber saja.
- "Wartawan” gadungan yang hanya mengejar amplop. Sebutan untuk golongan ini beragam, seperti CNN (Cuma Nanya-Nanya), WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar), Muntaber (Muncul Tanpa Berita), atau Wartawan Bodrex. “Kalau wartawan bodrex bukan dibina, tapi diusir,” tegas Leo menjawab permintaan peserta agar Dewan Pers membina "wartawan bodrex".
Semoga para wartawan gadungan diberi hidayah oleh Allah SWT untuk kembali ke jalan yang benar, bisa mencari rezeki yang halal dan berkah, dan tidak menjadi "public enemy" seperti sekarang. Mari kita aminkan.... Amin...........!!! Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
NOTE:
Buat para Humas Instansi, buatlah SPANDUK seperti ini dan TEMPEL di Pintu Masuk Kantor!